Welcome to My Blog

Pages

Senin, 13 Desember 2010

OBAT PSIKOSA

Pengertian Psikosa :
ialah suatu gangguan jiwa yang serius, timbul karena penyebab organic ataupun emosional (fungsional) dan yang menunjukan gangguan kemampuan berpikir, mengingat, berkomunikasi, nenafsirkan kenyataan dan bertindak sesuai dengan kenyataan itu, sedemikian rupa sehingga kemampuan untuk memenuhi tuntutan hidup sehari-hari sangat terganggu.

Obat Antipsikotik.
                        istilah antipsikotik dan neuroleptik digunakan saling bergantian untuk menunjukan segolongan obat yg terutama digunakan dalam pengobatan skizofrenia tetapi juga efektif dalam psikosis lain dan keadaan agitatif.Obat antipsikotik telah dipakai di klinik hampir 40 tahun. Reserpin dan klorpromazin merupakan obat pertama yang berguna untuk skizofrenia. Meskipun klorpromazin masih kadang-kadang digunakan untuk pengobatan psikosis, obat-obat kuno ini sudah diungguli oleh berbagai obat baru. Namun dampaknya dalam psikiatri terutama dalam pengobatan skizofrenia banyak sekali.

Farmakologi Dasar Obat Antipsikotik
Tipe kimia:
1.Turunan Fenotiazin
Berdasarkan molekul rantai samping, telah ditetapkan tiga Sub-Family Fenotiazin.
Turunan Alifatik (Klorpromazin) dan turunan Piperidin (Tioridazin), paling lemah. Turunan Piperazin lebih kuat dalam arti lebih efektif dengan dosis kecil. Piperazin juga lebih selektif dalam efek Farmakologinya.
2. Turunan Tioksanten
Golongan ini, contoh utama Tiotiksen. Umumnya senyawa ini kurang kuat dari Fenotiazin.
3. Turunan Butirofenon
Golongan ini, diantaranya Haloperidol yang paling banyak digunakan mempunyai rumus yang sangat berbeda dari dua terdahulu, kecuali Difenilbutilpiperidin ada kesamaan. Bersifat lebih kuat dengan efek autonom yg lebih kecil.
4. Struktur lain-lain
Obat – obat ini lebih baru termasuk Difenilbutilpiperidin (Pimozid), Dihidroindolon (Molindon), Dibenzoksazepin (Loksapin), Dibenzodiazepin (Klozapin) dan Benzamind (Remoksiprid).

Efek Farmakologi.

Obat Antipsikotik Fenotiazin yg pertama, dengan Klorpromazin sebagai Prototip, mempunyai efek pada SSP, Autonom, dan Endokrin. Hal ini disebabkan efek penghambat pada berbagai jenis reseptor, termasuk reseptor Dopamin dan Alfa-Adrenoseptor, Muskarinik, H1 Histaminik, dan Serotonin (5-HT2). Dalam pembicaraan ini yang penting adalah efek pada reseptor Dopamin.

A.    Sistem Dopaminergik
Sampai tahun 1959, dopamin belum dikenal sebagai suatu neurotransmiter dalam SSP tetapi hanya sebagai Prekursor  Norepinefrin. Sekarang lima sistem atau jalur Dopaminergik telah diketahui dalam otak.
-          Jalur pertama yang erat kaitanya dengan tingkah laku adalah jalur mesolimbik-mesokortikal,      yang muncul dari sel-sel dekat substansianigra menuju sistem limbik dan neokorteks.
-          Jalur kedua nigrostriatal terdiri dari saraf-saraf yang keluar dari substansia Nigra ke Kaudatum dan putamen; berfungsi dalam koordinasi gerakan sadar.
-          Jalur ketiga sistem tuberoinfundibular menghubungkan Nukleus Arkuatum dan saraf Periventrikular ke Hipotalamus dan Pituitari Posterior. Pelepasan Dopamin oleh saraf ini secara fisiologis akan menghambat sekresi Prolaktin. Sistem Dopaminergik.



-          Jalur keempat medullary-periventricular terdiri atas saraf – saraf dalam nukleus motorik Vagus yang batas-batasnya tidak begitu jelas. Sistem ini mungkin ada hubunganya dengan kebiasaan makan.
-          Jalur kelima incertohypothalamic membentuk hubungan dalam Hipotalamus dan ke Nukleus Septal Lateralis. Fungsinya belum diketahui.

B.     Reseptor Dopamin dan Efeknya.
Pada waktu ini, lima reseptor dopamin telah ditemukan, terdiri atas dua kelompok yang terpisah, yaitu kelompok reseptor D1 dan kelompok reseptor D2.
-          Reseptor D1 terdapat dalam kode genetik pada kromosom 5,meningkatkan cAMP dengan mengaktifkan adenilil, siklase, dan dijumpai terutama di putamen, nukleus akumben, dan tuberkulus olfaktorius. Angota kedua dari golongan ini D5, dikodekan oleh gen pada kromosom 4, juga meningkatkan cAMP, serta dijumpai di hipokampus dan hipotalamus. Potensi terapeutik obat-obat antipsikotik tidak ada hubunganya dengan afinitas pengikat pada reseptor D1.
-          Reseptor D2 dikodekan dalam kromosom 11, mengurangi cAMP (dengan menghambat adenilil siklase), dan menghambat saluran kalsium tetapi membuka saluran potasium. Hal ini dijumpai secara pre- atau pascasinaps pada saraf dalam putamen-kaudatum, nukleus akumben, dan tuberkulus olfaktorius. Anggota kedua dari famili ini, yaitu reseptor D3, dikodekan oleh gen pada kromosom 11, diperkirakan menurunkan cAMP, dan terdapat pada korteks frontal, medula, dan otak tengah (midbrain). Reseptor D4, yg terbaru dari golongan D2, juga menurunkan cAMP. Semua reseptor depamin mempunyai tujuh daerah transmembran dan terikat dengan protein G.
     Aktivasi reseptor D2 oleh berbagai agonis secara langsung (misal, amfetamin, levodopa, apomorfin) menyebabkan peningkatan aktivitas motorik dan tingkat stereoptik pada mencit, suatu model yang banyak digunakan dalam skrining obat psikotropik. Jika diberikan pada manusia, obat yang sama akan memperburuk skizofrenia. obat antipsikotik menghambat reseptor D2 secara stereoselektif, dan afinitas pengikatnya sangat kuat yang berhubungan dengan potensi antipsikotik klinik dan efek ekstrapiramidal, suatu observasi yang telah menjurus kepada studi tertentu menyebabkan kenaikan sementara kadar pengikat reseptor secara profusi.
     Pengobatan jangka panjang dengan antipsikotik pada pasien-pasien metabolit dopamin, asam homovanilat (HVA), dalam cairan serebrospinal, plasma, dan urin. Sesudah 1-3 minggu, kadar HVA menurun lebih rendah dari kadar normal dan penurunan itu menetap. Perubahan ini dapat diterangkan sebagai berikut. Pada tahap awal penghambatan reseptor terjadi peningkatan metabolisme transmiler sebagai kopensasi, sehinga kadar HVA juga bertambah. Pada terapi kronis, penghambat umpan balik yang disebabkan peningkatan kadar dopamin pada sinaps menimbulkan penurunan pengeluaran dopamin dan bergantian.

C.     Perbedaan Diantara Obat – obat Antipsikotik.
Meskipun semua obat antipsikotik efektif menghambat reseptor D2, derajat penghambatan dalam hubunganya dengan kerja lain pada reseptor berbeda antar berbagai obat. Sejumlah percobaan pengikat reseptor dengan ligan telah diadakan dalam usaha menemukan suatu kerja reseptor tunggal yang akan dapat meramalkan efikasi antipsikotik. Sebagai contoh, dalam penelitian ikatan in vitro menunjukan bahwa klorpromazin dan tioridazin menghambat α1 adrenoseptor lebih kuat dari reseptor D2. kedua obat ini juga menghambat reseptor serotonin 5-HT2 dengan kuat. Tetapi, afinitas untuk reseptor D1 seperti  dengan penggeseran ligan D1 yang selektif, SCH 23390, relatif lemah. Obat-obatan seperti perfenazin dan haloperidol bekerja te α1rutama pada reseptor D2; efek pada reseptor 5-HT2 dan  ada tetapi pada reseptor D1 dapat dikesampingkan. Pimozid dan remoksiprid bekerja pada hanya reseptor D2. antipesikotik klozapin yang atipikal, yang menunjukan perbedaan klinik yang menonjol dari yang lain, terikat lebih banyak pada D4, 5-HT2,  dan α1 reseptor histamin H1 dibanding dengan reseptor D2 atau D1. risperidon hampir sama potensinya menghambat reseptor D2 dan 5-HT2. kesimpulan yang diperoleh dari potensi ikatan pada reseptor dari ketiga obat meskipun sulit, dapat digambarkan sebagai berikut:



      klorpromazin: α1 = 5-HT2 ≥D2>D1
      haloperidol: D2>D1=D4> α1>5-HT2
      klozapin: D4= α1>5-HT2>D2=D1

Kelihatannya ikatan pada reseptor D1 paling lemah dalam meramalkan fungsi kliniknya, tetapi afinitas reseptor lain lebih sulit mengartikanya. Penelitian terakhir diarahkan pada penemuan antipsikotik atipikal yang lebih selektif untuk sistem mesolimbik (mengurangi efek pada sistem ekstrapiramidal) atau kerja yang luas pada reseptor neurotransmiter pusat.

D.    Efek Psikologi.
      Umumnya obat-obat antipsikotik menyebebkan efek subyektif yang tidak menyenangkan pada orang-orang sehat; terdapat kombinasi tidak dapat tidur, gelisah, dan efek otonom yang akan menimbulkan gejala yang berbeda dengan sedatif atau hipnotika biasa. Orang-orang sehat juga akan mengalami gangguan ketrampilan jika diukur dengan tes psikomotor dan psikotetrik. Sebaliknya, orang psikotik memperlihatkan perbaikan dalam keterampilannya psikosis tersebut dikurangi.

E.     Efek Neurofisiologik.
      Obat antipsikotik meningkatkan pola frekuensi elektroensefalografik, biasanya memperlambat dan meningkat sinkronisasinya. Perlambatan (hipersinkron) kadang-kadang fokal atau unilateral, yang dapat membuat interpretasi diagnosis yang keliru. Perubahan frekuensi dan amplitudo akibat                   obat mudah terlihat dan dapat dikuantifikasikan dengan teknik elektronyg handal.
Perubahan elektroensefalografik akibat obat antipsikotik muncul pertama kali pada elektroda subkortikal, dan ini mendukung pandangan bahwa obat itu bekerja terutama pada sisi subkortikal. Hipersinkron akibat obat disebabkan efek aktifasi obat pada EEG dari pasien epileptic seperti juga munculnya kejang pada pasien yang tidak pernah kejang sebelumnya.

F.      Efek Endokrin.
      Obat antipsikotik menimbulkan efek samping yang nyata pada sistem reproduksi. Amenoorhea – galactorrhea, tes positif palsu kehamilan dan peningkatan libido telah dilaporkan pada wanita, sedangkan pada pria penurunan libido dan ginekomasti. Beberapa efek ini bersifat sekunder terhadap penghambatan inhibisi dopamin pada sekresi prolaktin lainya dapat disebabkan peningkatan perubahan perifer androgen menjadi estrogen.

G.    Efek Kordiovaskular.
Hipotensi Ortostatik dan peningkatan pulpus biasanya akibat penggunaan “dosis tinggi” (low potency) fenotiazin. Tekanan arterial rata-rata, resistensi perifer dan volume sekuncup berkurang, dan kecepatan pulsus meningkat. Efek ini dapat diramalkan dari kerja obat pada saraf otonom. EGG yang abnormal dapat terjadi terutama dalam penggunaan tiodazin perubahan termasuk perpanjangan iterval QT dan konfigurasi segmen ST serta T, yang terakhir bundar, datar, mudah kembali akibat penghentian            obat. 

FARMAKOLOGI KLINIK OBAT ANTIPSIKOTIK.
Indikasi

A.    Indikasi Psikiatri

Skizofrenia merupakan idikasi utama untuk obat-obat ini, yang merupakan arus utama pengobatan segera pada kondisi ini. Sayangnya, beberapa pasien tidak menunjukkan respon sama sekali dan beberapa pasien dapat sembuh sempurna. Karena beberapa skizofrenia berjalan mantap dengan remisi yang panjang setelah episode pertama, para dokter berpendapat dapat menghentikan obat setelah remisi tercapai.



B.     Indikasi Non-Psikiatri

Obat Antipsikotik pada umumnya, kecuali tioridazin, mempunyai efek antiemetik yang kuat.         Kerja ini akibat penghambatan reseptor dopamin, baik di SSP (dalam chemoreceptor trigger zone medula) dan SST (reseptor lambung). Beberapa obat seperti proklorperazin dengan rantai samping yang lebih pendek mempunyai kerja penghambat reseptor H1 an digunakan                                    untuk pruritus atau, misalnya prometazin, sebagai sedatif preoperatif. Butirofen droperidol    digunakan bersama obat yang menyerupai meperidin, fentanil, dalam “neuroleptanestesia”.

Pilihan Obat.

Pemilihan obat antipsikotik secara rasional didasarkan atas perbedaan rumus kimia dan sifat farmakologi, karena perbedaan antar golongan lebih besar dalam kelompok itu sendiri. Dengan demikian seseorang harus membiasakan dengan satu obat dari tiga subfamili fenotiazin, anggota dari kelompok tioksanten, dan butirofenon, serta mungkin dua obat dari kelompik lain-lain.

Dosis

Kisaran untuk dosis efektif berbagai antipsikotik cukup luas. Margin terapi penting sekali. Dengan asumsi dosis ekuivalen untuk antipsikotik, kecuali klozapin, efikasi juga sama pada pasien. Namun, beberapa pasien yang tidak responsif pada satu obat dapat merespons obat lain, sehinga dengan demikian berbagai obat perlu dicoba untuk mendapatkan yg paling efektif bagi seseorang pasien.

Konsentrasi Plasma & Efek Klinik

Usaha untuk menetapkan kisaran terapi konsentrasi plasma obat antipsikotik banyak menemui kesulitan. Kisaran 2-20 ng/mL disebut untuk haloperidol. Meskipun angka ini secara klinik tidak banyak diperlukan. Monitoring klinik konsentrasi plasma, meskipun dapat dikerjakan, belum diperlukan waktu sekarang.

Prepatan Farmasi

Bentuk parenteral yang ditoleransi dengan baik obat potensi tinggi terdapat dipasaran baik            untuk keperluan pengobatan yang segera memberikan efek atau sebagai terapi rumat pasien           yang sulit diatur. Karena obat suntikan mempunyai bioavaibilitas yang lebih besar dari                    obat oral, dosis harus lebih kecil. Flufenazin dekanoat merupakan obat parenteral terapi rumat     jangka panjang untuk pasien yang tidak dapat atau tidak ingin menggunakan obat oral.

Jadwal Dosis

Antipsikotik boleh diberikan dalam dosis harian yang terbagi sambil mencari dosis efektif.           Tidak harus dibagi dalam jumlah yang sama, walaupun per oral. Setelah dosis harian harian       efektif diketahui untuk seseorang pasien, dosis dapat diberikan tidak terlalu sering. Dosis sekali sehari, biasanya pada malam hari, mungkin diperoleh sebagai dosis rumat jangka panjang. Penyederhanaan dosis dan waktu pemberian obat akan meningkatkan kepatuhan pasien. Dosis maksimum telah diproduksi untuk maksud dapat diberikan sebagai terapi sekali sehari.








Kombinasi Obat

Kombinasi antipsikotik menentukan efikasi obat yg digunakan. Antidepresan trisiklik dapat digunakan dengan antipsikotik  tetapi jika jelas ada gejala depresi sebagai komplikasi skizofrenia. Tidak ada bukti atas efikasi untuk menghilangkan gejala menyendiri atau sikap efektif yang menyimpang. Litium kadang-kadang ditambahkan bersama obat antipsikotik untuk menolong pasien yang tidak dapat ditolong hanya dengan obat yang terakhir. Belum dapat dipastikan apakah keadaan tersebut merupakan kasus mania yang tidak dapat didiagnosis. Obat sedatif dapat ditambahkan untuk mengurangi ansietas atau insomnia yang tidak dapat diobati dengan antipsikotik. Obat-obat yang banyak dikombinasikan dengan antipsikotik adalah obat antiparkinson.

Efek Samping

Sebagai besar efek samping antipsikotik adalah efek farmakologiknya yang dikenal tetapi terjadi secara berlebihan. Tetapi sebagai alergi dan lainya indiosinkrasi.

A.  Efek Tingkah Laku

Antipsikotik merupakan obat yang tidak disenangi. Semakin kuat perasaan tersebut, semakin kurang kelain jiwa pasien tersebut.

  1. Efek Neurologik

 
Reaksi ekstrapiramidal yang terjadi pada awal pengobatan termasuk sindrom parkinson,      akatisia (kegelisahan yang tidak terkontrol). Dan reaksi distonik akut (retrokolis                   spastik atau tortikolis). Sindrom parkinson dapat diobati bila perlu dengan obat antiparkinson setiap 3-4 bulan. Obat ini juga dapat responsif untuk akatisia dan reaksi distonia, tetapi lebih baik mengunakan antihistamin, yang dapat diberikan parenteral atau oral sebagai kapsul atau eliksir.
            Tardiv diskinesia, dari namanya sudah dapat diketahui, merupakan sindrom yang terjadinya lambat dalam bentuk gerakan koreoatetoid abnormal. Ini efek yang tidak dikehendaki dari obat antipsikotik. Hal ini disebabkan defisiensi kolinergik yang relatif akibat super sensitif reseptor dopamin di putamen-kaudatus. Wanita tua yang diobati jangka panjang mudah mendapatkan gangguan tersebut walaupun dapat terjadi diberbagai tingkat umur pria atau wanita. Prevalensi bervariasi tetapi tardiv diskinesia diperkirakan terjadi 20-40% pasien yang berobat lama. Pengenalan awal perlu karena kasus lanjut sulit diobati. Banyak terapi yang diajukan tetapi evaluasinya sulit karena perjalanan penyakit sangat beragam dan kadang-kadang terbatas. Disepakati bahwa pada tahap awal adalah mencoba mengurangi sensitifitas reseptor dopamin dengan menghentikanobat antipsikotik atau mengurangi dosis. Tahap kedua adalah menghilangkan semua obat yang bekerja sebagi antikolinergik pusat saraf, terutama obat-obat antiparkinson dan antidepresan trisiklik. Kedua tindakan diatas dianggap sudah cukup memperbaiki keadaan. Jika masih gagal, penambahan diazepam dosis 30-40 mg/hari                 akan memperbaiki keadaan dengan meningkatkan aktivitas GABAergik. Pemakaian reserpin perlu dipertimbangkan, meskipun mempunyai risiko peningkatan sensitivitas reseptor atau timbulnya reaksidepresi.
Kejang, sebagai komplikasi klorpromazin, jarang terjadi pada obat potensi tinggi, walaupun perlu mendapat perhatian. Namun kejang de novo dapat terjadi 2-5% pasien yg diobati dengan klozapin.







  1. Efek Sistem Saraf Otonom.

Umumnya pasien toleran dengan efek samping antikmukarinik dari pada obat antipsikotik. Yang merasa sangat terganggu atau kesulitan seperti terjadinya retensi urin, diberi betanekol, suatu kolinomimetik yang bekerja perifer. Hipotensi ortostatik atau gangguan ejakulasi – komplilkasi terapi dengan klorpromasin atau mesoridazim- perlu diganti obatnya dengan efek penghambatan adrenoseptor yang lebih ringan.

  1. Efek Metabolik dan Endokrin.

Penambahan berat dapat terjadi dan perlu mengatur makanan. Hiperprolaktinemia pada wanita merupakan akibat sindrom amenorrhea-galactorrhea dan infertilitas; pada pria dapat terjadi hilang libido, impoten, dan infertil.

  1. Reaksi Toksi atau Alergi.

Agranulositosis, ikterus kolestatik, dan erupsi kulit terjadi (jarang) pada penggunaan antipsikotik potensi tinggi. Klozapin, berbeda dengan antipsikotik lainya, dapat menyebabkan agranulositosis pada kelompok kecil pasien, 1-2% dari yang mendapat pengobatan.Efek sangat berbahaya ini dapat terjadi cepat,biasanya antara minggu keenam sampai minggu kedelapan belas sejak terapi
dimulai. Tidak diketahui apakah ini reaksi imun, tetapi bersifat reversibel setelah penghentian obat.
Karena resiko ini, penghitungan darah setiap minggu merupakan keharusan untuk pasien yang diobati klozapin.

  1. Komplikasi Mata.

Deposit pada bagian anterior mata (kornea dan lensa) merupakan komplikasi biasa dari terapi klorpromazin. Dapat mempercepat proses penuaan lensa. Tridazin merupakan antipsikotik, yang menyebebkan deposit retina yang menyerupai retinitis pigmentosa pada kasus lanjut. Deposit biasanya dikaitkan dengan penglihatan menjadi “coklat” dosis harian maksimum tioridazin dibatasi sampai 800mg/hari untuk mengurangi kemungkinan komplikasi ini.

  1. Toksisitas Pada Jantung.

Tioridazin dengan dosis lebih dari 300mg/hari hampir selalu memperlihatkan kelainan gelombang T, yang biasanya reversibel. Takar tanjak tioridazin akan menyebabkan aritma ventrikular, hambatan konduksi jantung, dan mati mendadak; belum jelas apakah tioridazin dapat menyebabkan gangguan yg sama jika digunakan dalam dosis terapi. Adanya kemungkinan terjadi efek aditif antimus dan efek seperti kuinidin dari trisiklik antidepresan, kombinasi dengan tioridazin perlu dipertimbangan yang lebih baik.

  1. Penggunaan Dalam Kehamilan.

Dismorfogenesis; meskipun obat antipsikotik aman digunakan selama kehamilan, kealpaan dapat terjadi dengan adanya peningkatan risiko kecil dalam pengobatan.









  1. Sindrom Maligna Neuroleptik.

Gangguan yang mengancam jiwa ini terjadi pada pasien yang sangat sensitif pada efek ekstrapiramidal dari antipsikotik. Simtom awal berupa kaku otot. Jika pengeluaran keringat terganggu, biasanya selama pengobatan dengan antikolinergik, dapat timbul demam yang mencapai taraf berbahaya. Leukositosis stres dan demam tinggi yang berhubungan dengan sindrom dapat dikira karena ada proses infeksi. Intabilitas otonom dengan perubahan tekanan darah dan pulsus, adalah manifestasi midbrain. Kreatin kinase (CK) isoenzim biasanya meningkat, menunjukan kerusakan otot. Sindrom ini akibat penghambatan reseptor dopamin pascasinaptik yang berlebihan.selanjutnya akan terjadi sindrom ekstrapiramidal dengan obat anti perkinson akan bermanfaat. Relaksan otot, terutama diazepam,juga bermanfaat. Penggunaan relaksan otot lain, sperti dan trolen atau agonis dopamin seperti bromokriptin dilaporkan juga berguna. Jika drmam tetap ada, pendinginan dengan tindakan fisik harus dicoba. Beberapa bentuk minor sindrom ini sekarang banyak ditemukan.

Interaksi obat

  
Antipsikotik menimbulkan lebih banyak interaksi farmakodinamik dari pada farmakokinetik karena efeknya yang bermacam-macam. Efek aditif terjadi jika obat digabung dengan obat lain yang mempunyai efek sedatif, menghambat alfa adrenoseptor, efek anti kolinergik, dan untuk     tioridazin kerja mirip kuinidin.Berbagi interaksi farmakokinetik telah dilaporkan tetapi tidak ada yang penting untuk klinik.

Keuntungan dan batas pengobatan

Seperti sudah dijelaskan pada awal bab ini, obat-obat yg digunakan mempunyai pengaruh utama pada ilmu penyakit jiwa pasien psikiatrik.

·         Pertama, obat telah mengubah perawatan pasien dari rumah sakit kedalam masyarakat. Sebagian besar hal ini telah memberikan kehidupan yg lebih baik dibawah lingkungan yg lebih humanistik dan dipihak lain telah membentuk hidup tanpa kesulitan-kesulitan fisik. Untuk golongan lain, tragedi terjadi pada orang-orang yang berkeliaran dijalan raya tanpa tujuan, bukan ditempat perawatan.
·         Kedua, obat-obat ini telah mengalihkan pemikiran pada orientasi biologik. Sebagaian karena penelitian yang dipacu dengan obat-obat pada sekizofrenia, kita sekarang lebih banyak mengetahiu fisiologi SSP dan framakologi dibandingkan dengan sebelumya. Namun, walaupun sudah banyak penelitian dikerjakan oleh para ahli yang kompeten dari berbagai disiplin, skizofrenia tetap masih merupakan misteri kimia dan bencana yang bersifat pribadi. Meskipun banyak pasien skizofrenia yang mendapatkan keuntungan dari obat-obat ini, namun tidak ada yang sembuh sempurna.












                                                          

DAFTAR PUSTAKA


-          Prof. Dr. Marawis, WF. 1995. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Air Langga University.
-          Katzung, Betram G.1997. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta : EGC.